![]() |
“BAITUL HIKMAH”
Dosen Pengampu: Drs.Rofik,M.Ag
Fatkhatul Aliyah
10410153
PAI 6 / F
|
Baitul Hikmah : Perpustakaan dan Observatium
A.Sejarah Baitul Hikmah
Baitul Hikmah merupakan perpustakaan
yang berfungsi sebagai pusat
pengembangan ilmu pengetahuan. Institusi ini merupakan kelanjutan dari
institusi serupa di masa Imperium Sasania Persia yang bernama Jundhisapur
Academy[1]. Namun
berbeda dari institusi pada masa Sasania yang hanya menyimpan pusi-puisi dan
cerita-cerita untuk raja. Pada masa Abbasiyah institusi ini diperluas
penggunaannya. Bait al-Hikmah atau Graha kebijaksanaan, sudah dirintis oleh
khalifah Harun al-Rasyid, menjadi pusat segala kegiatan keilmuan. Pada masa
Harun al-Rasyid institusi ini bernama khizanah al-Hikmah (Khazanah
Kebijaksanaan)[2] yang berfungsi sebagai
sebagai perpustakaan dan pusat penelitian. Di lembaga ini baik muslim maupun
non muslim bekerja mengalihbahsakan sebagai naskah kuno dan menyusun berbagai
penjelasan serta komentarnya. Di lembaga ini misalanya Abu Yusuf Ya’qub al-Kindi (801-869), misalnya saja
menggali dan menyinarkan kembali filsafat Yunani tetapi juga memperluas horizon
pemikiran umat islam. Perhatian keilmuaannya mencakup bidang yang sangat luas,
tidak saja masalah logika, tetapi juga sejarah alam, meterologi serta kimia
bahkan kemiliteran.
Sejak 815 M al-Makmun mengembangkan
lembaga ini dan diubah namanya menjadi Bait al-Hikmah.[3] Pada masa Ma’mun inilah ilmu pengetahuan dan intelektual
mencapai puncaknya. Pada masa ini Bait al-hikmah digunakan secara lebih
maju yaitu sebagai tempat penyimpanan buku-buku kuno yang didapat dari Persia, Bizantium,
bahkan Etiopia dan India. Di institusi ini al-Makmun memperkerjakan Muhammad
ibn Musa al-Hawarizmi yang ahli di bidang al-jabar dan astronomi. Orang-orang
persia juga diperkerjakan di Bait al-Hikmah. Direktur Bait al-hikmah sendiri
adalah seorang Nasionalis persia dan ahli Pahlewi, Sahl Ibn Harun. Di bawah
kekuasaan al-makmun, Bait al-Hikmah
tidak hanya berfungsi sebagai perpustakaan tetapi juga sebagai pusat kegiatan
studi dan riset astronomi dan matematika.[4]
Pada 832 M,
al-Makmun menjadikan Bait al-Hikmah di bagdad sebagai akademi pertama, lengkap
dengan teropong bintang, perpustakan, dan lembaga penerjemahan.[5]
Kepala akademi ini yang pertama adalah Yahya ibn Musawaih (777-857), murid
Gibril ibn Bakhtisyu, kemudian diangkat Hunain ibn Ishaq, murid Yahya sebagai
ketua ke dua.
B.Gerakan
Penerjemahan
Sebagaian
ilmuwan bependapat, bahwa usaha ilmiah terpenting dijalankan oleh akademi ini terjadi sewaktu
dikepalai oleh Hunain ibn Ishaq (w.873) seorang Kristen yang pandai berbahasa
Arab dan Yunani. Dia memperkenalkan metode penerjemahan baru yaitu menterjemahkan
kalimat, bukan menerjemahkan kata per kata, hal ini agar dapat memperoleh
keakuratan dan keotentikan naskah, Hunain juga menggunakan metode penerjemahkan
dengan membandingkan beberapa naskah untuk diperbandingkan. Hunain berhasil
memindahkan ke dalam bahasa Arab Apollonius, Plato, Galen, Aristoteles, Themitius,
Perjanjian lama,dan sebuah buku kedokterann yang dikarang oleh Paulus al-Agani
dengan bantuan para penerjemah dari Bait al-Hikmah. Ia menerjemahkan kitab Republik dari Plato, dan
kitab Kategori, Metafisika, Magna Moralia dari Aristoteles .
Penerjemahan
buku-buku ilmu falak, kedokteran ,filsafat, dan lain-lain dilakukan secara
langsung dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab selain kota baghadad, juga di
Harran, Merv (Persia Timur) , dan Jund-e-Shapur
(Persia Barat). Biasanya naskah berbahasa Yunani diterjemahkan ke dalam Bahsa
Syiria kuno dulu sebelum ke dalam Bahsa Arab.[6]Hal
ini dikarenakan para penerjemah biasannya adalah para pendeta Kristen Syiria
yang hanya memahami Bahsa Yunani dan Bhasa mereka sendiri yang berbeda dengan
Bahasa Arab.Kemudian,para ilmuwan yang memahami Bhasa Syiria dan Arab
menerjemahkan naskah tersebut ke dalam Bahasa Arab. Pasca Ma’mun, penerjemahan
berjalan terus,bahkan tidak hanya menjadi urusan istana, tetapi telah menjadi
usaha pribadi oleh orang yang gemar dan mencintai ilmu, misalnya Muhammad,
Ahmad, dan al-Hasan anak-anak Musa Ibn Syakir yang telah menafkahkan sebagian
besar hartanya untuk penerjemhan buku-buku. Sementara itu, Musa telah
menerjemahan ke dalam bahasa Arab buku-buku karangan Plato, Aristoteles, dan lain-lain. Sebagai catatan orang Nestor
Syiriah yang berbahasa Suryani yang banyak terlibat dalam penerjemahan
buku-buku Yunani ke dalam bahsa Arab. Yahya al-batrik, ahli bahasa Suryani dan
Yunani menyerahkan buku terjemahan dari Yunani ke Arab kepada khalifah
Abbasiyah, kemudian khalifah menyuruh Mu’allim Tsani, al-Farabi untuk mengedit
lagi, karena al-batrik dianggap kurang mahir bahasa arab. Hal ini menunjukkan
betapa perhatian pemerintah dalam hal memelihara ilmu pengetahuan Yunani.
Kegiatan
kaum muslimin bukan hanya
menerjemahkan,bahkan mulai memberikan syarahan (penjelasan), dan melakukan
tahqiq (pengeditan). Pada mulanya muncul dalam bentuk karya tulis yang ringkas,
lalu dalam wujud yang lebih luas dan dipadukan dalam berbagai pemikiran dan
petikan,analisis dan kritik yang disusun dalm bentuk bab-bab dan pasal-pasal.
Dengan kepekaan mereka, hasil kritik dan analisis itu memancing lahirnya
teori-teori baru sebagi hasil renungan mereka sendiri. Misalnya apa yang telah
dilakukan oleh Muhammd ibn Musa al-Khawaizmi dengan memisahkan aljabar dan ilmu
hisab yang pada akhirnya menjadi ilmu tersendiri secara sistematis.
C.Faktor-faktor yang menyebabkab
berdirinya lembaga Baitul Hikmah
Motivasi didirikannya lembaga baitul
hikmah boleh jadi memang kepentingan-kepentingan praktis, seperti kepentingan
untuk menguasai ilmu kedokteran, astronomi, tetapi juga sangat penting didorong
oleh kepentingan prestise,[7] ada yang
menilai bahwa pendirian lembaga tersebut sesunggguhnya didorong oleh keinginan
meniru lembaga hebat yang didirikan oleh orang-orang kristen Nestorians; yakni gondhesaphur yang salah satu tokohnya
georgius Gabriel pernah ditunjuk menjadi kepala sebuah rumah sakit pada jaman
khalifah al-Mansur. Tokoh ini juga aktif menerjemahkan karya-karya yunani.
Terlepas dari itu semua yang menjadi
motivasi utamanya, pembentukan lembaga Baitul Hikmah adalah disebabkan oleh
faktor-faktor obyektif sebagai berikut:[8]
o
Melimpahnaya kekayaan negara dan tingginya apresiasi
khalifah al-makmun terhadap ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Al-Makmun mempunyai
selera pribadi (personal predillection) yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan
(Filsafat, kedokteran, astronomi, dan lain-lain), dan seni musik. Bersatunya “dana” dengan “selera” ini
melahirkan “political will” yang ternyata mendapat sambutan yang positif dari
para pembantunya dan dari masyarakat.
o
Pada saat itu kawasan irak (mesopotamia) dan
sekitarnya telah memiliki tradisi keilmuan yang tinggi yang berasal dari warisan
peradaban masa lampau. Disana telah ada daerah-daerah kantong (enclaves) di
mana ilmu-ilmu pengetahuan orang-orang kuno (ulum al awail) telah dipelajari
lama secara turun temurun. Warisan peradaban masa lampau ini masuk ke kawasan
persia diantaranya dibawa oleh para imigran. Misalnya kaum Nasrani dari madzhab
Nestorias yang diusir kaisar Bizantium dari mazhab Nestorias yang diusir Kaisar
Bizantium dari Eddesa tahun 489[9]. Pada
tahun 529 datang lagi gelombang imigran dan “lulusan “ athena yang terusir dan
akhirnya masuk kawasan persia. Dalam hal ini tidak dapat diabaikan jasa besar
dari “The Great king” Chosrus Nushirwan (tahun 531-579);yang akhirnya bisa
menjadikan kawasan tersebut sebagai sentra-sentra ilmu pengetahuan yang
penting.[10] Gondhesaphur adalah salah
satu yang terpenting. Kota di propinsi
Khuzistan ini sangat populer dengan ilmu kedokterannya. Warga kota ini telah
mampu mengembangkan metode-metode pengobatan yang lebih dekat daripada metode
India dan Yunani. Disamping melalui para imigran, warisan perradaban kuno juga
masuk ke kawasan Persia akibat interaksi dengan dunia luar selama berabad-abad.
Karena kawasan Iraq (Mesopotamia) memang telah mempunyai rentang sejarah
peradaban yang tua.
o
Adanya apresiasi yang tinggi dari kebanyakan anggota
masyarakat (dari berbagai lapisan sosial) terhadap kegiatan keilmuan,yang
menyebabkan mereka bisa bekerja bahu-membahu satu sama lain tanpa mengalami
beban psikologis yang disebabkan oleh perbedaan etnis, agama, status sosial dan
lain sebagainya. Disini profesionalitas dijunjung tinggi dengan sikap terbuka
dan fair. Sehingga tidak mengherankan jika waktu itu, karena kualitasnya,
orang-orang etnis non arab dan non muslim banyak sekali perananya. Mereka bisa
menjalankan tugas dengan tenang meskipun memerintahkan adalah kaisar (khalifah)
muslim.
D.Aktivas dan Peran-peran Strategis[11]
Motif utama berdirinya lembaga Baitul
Hikmah dimaksudkan untuk menggalakkkan dan mengkoordinir kegiatan pencarian dan
penerjemahan karya-karya klasik dari warisan intelektual Yunani, Persia, Mesir
dan lain-lain ke dalam bahasa Arab, khusunya umat islam. Salah seorang yang
paling berperan, Hunayn bin ishaq, mengadakan perjalanan ke Alexandria dan
singgah pula di Syiria dan Palestina untuk mencari karya-karya kuno tersebut.
Menurut Dr.Oumar Faroukh,
faktor-faktor yang mendorong umat Islam melakukan kegiatan penerjemah dan
transfer ilmu-ilmu kuno adalah :
1)
Suasana Persaingan (prestise) antara orang-orang Arab
dengan lainnya.
2)
Keinginan untuk menguasai ilmu-ilmu yang belum
dimiliki.
3)
Legitimasi dan dorongan ayat-ayat al-Quran( dan ajran
Islam secara keseluruhan) untuk menguasai ilmu pengetahuan.
4)
Bahwa Kemajuan ilmu pengetahuan merupakan konsekuensi
(Meskipun tidak selalu demikian) dari peningkatan kemakmuran dan kemajuan
ekonomi.
Dengan berdirinya Baitul hikmah,
kegiatan pentransferan ilmu pengetahuan menjadi lebih intensif. Khalifah
berhasil merekrut para sastrawan, sejarawan dan ilmuwan-ilmuwan terbaiknya. Tim-tim
ekspedisipun dikirim ke kawasan-kawasan kuno kerajaan Bizantium dengan tugas
mencari karya-karya ilmuwan/ filosof klasiknya. Melalui kegiatan-kegiatan
ekspedisi inilah pada akhirnya umat islam bisa “berkenalan” dengan karya-karya Hypokrates, Euclides ,
galen dan lain-lain, yang di Eropa sendiri praktis dilupakan.
Pesatnya perkembangan lembaga Bait
al-Hikmah mendorong lembaga ini untuk memperluas peranannya, bukan saja sebagai
lembaga penerjemah, tetapi juga meliputi hal-hal sebagai berikut:
1)
Sebagai pusat dokumentasi dan pelayanan informasi
keilmuwan bagi masyarakat, yang antara lain ditunjukkan dengan berdirinya
banyak perpustakaan umum di kota baghdad.
2)
Sebagai pusat dan forum kegiatan pengembangan
keilmuan, sehingga semua perangkat risetnya juga dilengkapi dengan
observatorium astronomi.
3)
Sebagai pusat kegiatan perencanaan dan koordinasi
pelaksanaann pendidikan.
Meluasnya peran lembaga tersebut pada
gilirannya membawa dampak positif secara makro bagi masyarakat luas diantaranya:
1)
Ditemukannya jalur “benang Merah” yang menjelaskan
rentangan sejarah perkembangan peradaban umat manusia sejak kurun yang sangat
tua, dan diperolehnya kembali kekayaan warisan peradaban kuno yang bernilai
tinggi dari Yunani, Mesir, India, Persia dan lain-lain.
2)
Semakin tumbuh suburnya kondisi sosial yang favourable
bagi pengembangan keilmuan, akibat dari masyarakat yang semakin apresiatif
terhadap bidang tersebut.
3)
Terjadinya integrasi sosial yang kian intensif dan
berkurangnya sikap primodialisme.
Beberapa
kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan dapat disebutkan sebagai berikut
Dalam bidang Filsafat, para filosof
Islam berusaha menjawab persoalan-persoalan umat Islam yang berkaitan dengan
kepercayaan dan pemikiran baik teoritis maupun praktis, kemanusiaan maupun
ketuhanan yang dianggap oleh umat islam perlu untuk dijawab sebagai pegangan
hidup keseharian maupun untuk keselamatan yang lebih tinggi. Pada saat ini
pemikiran filsafat mencakup bidang keilmuan yang sangat luas seperti logika,
geometri, Astronomi,dan musik yang digunakan untuk menjelaskan pemikiran
abstrak, garis, dan gambar, gearkan dan suara. Para filosof semasa Abbasiyah
seperti Ya’qub Ibn Ishaq al-Kindi, Abu
Nasr Muhammad al-Farabi, Ibn bjah, Ibn Tufail dan Ibnu Rushd menjelaskan
pemikiran-pemikirannya dengan menggunakan contoh, metafor, analogi, gambaran
dan imaginatif.[12]
Dalam Bidang Hukum Islam, karya
pertama yang diketahui adalah majmu’ al-Fiqh karya Zaid ibn Ali (w.122/740)
yang berisi tentang fiqh Syi’ah Zidiyah. Hakim agung yang pertama adalah Abu
Hanifah (w.150/767). Meski dianggap sebagai pendiri madzhab hanafi,
karya-karyanya sendiri tidak ada yang terselamatkan. Dua bukunya yang berjudul
Fiqh al-Akbar(Terutama berisi artikel tentang keyakinan) dan Wasiyah Abi
Hanifah berisi pemikiran-penikirannya terselamatkan karena ditulis oleh para
muridnya. Pencipta sebenarnya madzhab Hanafi adalah Abu Yusuf (w.182/798) dan
Muhammad al-Syaibani (w.189/804). Murid-murid Abu Hanifah ini menulis
pemikiran-pemikiran guru mereka tersebut dan memberi komentar terhadap
pemikiran-pemikiran tersebut. Abu Yusuf
menjadi hakim utama pada masa Harun al-Rasyid. Dia sendiri menulis kitab
tentang berbagai macam pajak dalam islam termasuk zakat.
Ada beberapa pendiri madzhab hukum
lain yang sudah punah. Al-Auza’i (w.157/774) dikatakan telah menciptakan
madzhab fiqh tersendiri di Syiria. Sedangkan Sufyan al-Thawari (w.161/1778)
dikatakan telah menciptakan madzhab hukum Islam di syiria.
Pendiri Mazhab besar kedua adalah
Malik Ibn Anas dari Madinah (w.179/795) yang menulis karya yang penting
mengenai syari’ah. Karyanya kitab al-muwatta’ merupakan hukum Islam otentik pertama
yang masih utuh. Kitab ini merupakan kitab hukum dan kumpulan-kumpulan hadits.
Pendiri madzhab besar ketiga adalah
muhammad ibn Idris as-Syafi’i (w.204/820) sangat ekstentif dan lebih
sistematik. Karyanya yang paling penting adalah kitab al-Risalah fi Ushul
al-Fiqh). Kitab ini merupakan tulisan pertama yang menguraikan sistem hukum
secara lengkap yang didasarkan pada al-Quran, Sunnah, Ijma’,dan Qiyas yang
dinamakan usul (landasan) yang sangat berpengaruh besar dalam pengembangan
hukum islam.
Pendiri mazhab besar keempat adalah
Ahmad ibn Hanbal (w.241-855) yang merupakan saling konservatif antara keempat
pendiri mazhab sunni). Karyanya musnad berisi sekumpulan 30.000 hadits Nabi.
Dia juga menulis karya kitab al-Masa’il,kitab al-Wuru’ dan kitab Zuhd.[13]
E.Terobosan-terobosan Kultural[14]
Berdirinya lembaga Baitul Hikmah merupakan kebijaksanaan
untuk melakukan terobosan isolasi intelektual yang sebelumnya telah berakar
kuat dalam alam “Bawah Sadar” umat islam, sekaligus juga merupakan langkah untuk mengingatkan kembali salah satu watak
dasar ajaran islam yang sangat apresiatif terhadap dunia keilmuan. Karena
banyak ayat al-quran dan sabda Rasul yang menyuruh umat islam mendalami ilmu.
Al-Makmun melakukan beberapa
terobosan penting dalam pembangunan lembaga Bait al-Hikmah baik di bidang
politik maupun sosiokultural, yakni
sebagai berikut:
a)
Adanya political will untuk menembus isolasi politik
dengan dunia luar secara damai dan saling menguntungkan.
b)
Pembinaan dan kebijaksanaan politik dalam negeri yang lebih
bercorak nasionalis dari pada periode-periode sebelumnya.
c)
Memasukkan secara besar-besaran dan sistematis ilmu
pengetahuan sekuler dan kebudayaannya kedalam khazanah intelektual dan alam
pikiran umat islam.
E.Hal-hal
yang menyebabkan kemajuan intelektual[15]
Kemajuan
intelektual pada masa tersebut, ditentukan oleh dua hal, yaitu sebagai berikut.
1) Terjadinya asimilasi antara bahasa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang
lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa
pemerintahan Bani Abbas, bangsa-bangsa non Arab banyak yang masuk Islam.
Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu
memberi saham tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Pengaruh
Persia sangat kuat di bidang pemerintah. Di samping itu Bangsa Persia banyak
berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat, dan sastra. Pengaruh India terlihat
dalam bidang kedokteran, ilmu matematika,
dan astronomi. Sedangkan pengaruh Yunani masuk melalui
terjemahan-terjemahan di berbagai bidang ilmu,terutama filsafat.
2) Gerakan penerjemahan berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama pada masa
Khalifah al-Manshur hingga Harun ar-Rasyid. Pada masa ini yang banyak
diterjemhkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan mantiq. Fase kedua
berlangsung mulai masa khalifah al-makmun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang
banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat, dan kedokteran. Pada fase
ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan
kertas. Selanjutnya bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.
Pada masa
itu sejarah peradaban telah mengukir bahwa masa pemerintahan bani abbasiyah
merupa kan golden age terutama pada masa khalifah al-Makmun.Umat Islam
sesungguhnya telah dipacu untuk dapat mengembangkan dan memmberikan Inovasi
serta kreativitas dalam upaya membawa umat kepada keutuhan dan kesempurnaan hidup. Aktivitas ilmiah yang berlangsung pada
masa Dinasti Abbasiyah mengantarkan dinasti ini mencapai kemajuan di bidang
ilmu pengetahuan. Seperti ilmu kimia, kedokteran, filsafat, matematika, astronomi,
astrologi, geografi, sejarah,ilmu-ilmu agam islam, dan sebagainya. Di samping
itu, para sastrawan, penyair, musisi, dan lain-lain menghiasi era Abbasiyah. Dalam
perjalan sejarah Bani abbasiyah telah mengubah dan menoreh wajah dunia islam
dalam refleksi kegoatan pengembangan wawasan dan disiplin keilmuwan.
DAFTAR PUSTAKA
Amin,Samsul
Munir. Sejarah Peradaban Islam. 2009. Jakarta: Amzah
Karim,Muhammad
Abdul. Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam. 2009. Yogyakarta: Pusta Book
Publisher
Lathiful
Khuluq, et.al. Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik Hingga Modern. 2003.
Yogyakarta: Lesfi
Rofiq,
Choirul. Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik Hingga Modern.2009. Ponorogo:
STAIN Ponorogo Press
Solikhin,
Muhammad. Sejarah Peradaban Islam.2005. Semarang: RaSAIL
[1] Lathiful Khuluk, Sejarah
Peradaban Islam Dari Masa Klasik Hingga Modern, hal.126
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Gutas, Greek Thought, hlm.57-58
dalam Ibid.
[5] Abdul Karim,Sejarah
Pemikiran Dan Peradaban Islam, hal.176
[6] Latiful Khuluk,op. Cit.,
hal.124
[7] Micea Eliade (ed Chief), “The
Encyclopedia of Religion”, Jilid V, p.268 Dalam Solikin,” Sejarah Peradaban
Islam”, hal. 65
[8] Ibid.
[9] Sir Thomas Arnold,The
Legalicy of Islam,Oxford University Press,1931,p.212 dalam Ibid,hal.66
[10] Ibid.
[11] Ibid., hal.67
[12] Muchsin
Mahdi,”Philosophical Literature” dalam M.J.L.young et all (eds). Religion
Learning And Science in ‘Abbasid period (Cambridge University
Press,1990),hlm.76-78 dalam Latiful Khuluk,op. Cit., hal 127
[13] P.W Baker dan I.D
Edge,”Islamic Legal Literature’ dalam Muchsin Mahdi,”Philosophical Literature”
hal.141-144 dalam Ibid., hal. 128
[14] Ibid., hal.69
[15] Samsul Munir Amin,Sejarah
Peradaban Islam,hal.145

Tidak ada komentar:
Posting Komentar